Siapapun yang membuka lembaran
sejarah dakwah sejak masa kenabian tentu akan menemukan hakikat dan substansi dari at-tarbiyatu bil-ahdaf. Orisinalitasnya bisa
ditelisik dalam khazanah Islam yang sudah berusia 15 abad ini.
Coba tadabburi firman Allah Swt,
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا
مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ
وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
"Dia-lah yang mengutus kepada
kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan
ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka
Kitab dan Hikmah (Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam
kesesatan yang nyata.”
(QS Al-Jumu’ah 62:2).
Secara terang benderang, ayat ini menyebutkan tiga ‘pekerjaan’ yang harus dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw sebagai rasul di tengah-tengah kaum yang ummy. Pekerjaan pertama ialah membacakan ayat-ayat Allah Swt. Ini adalah transformasi pengetahuan (ma’rify). Pekerjaan kedua ialah menyucikan jiwa. Ini wilayah batin (wijdany). Pekerjaan ketiga ialah mengajarkan ajaran-ajaran Alqur’an dan Sunah. Ini terkait dengan pembentukan sikap dan perilaku (nafs-haraky).
Mujahid, dalam tafsirnya, mengutip penuturan para sahabat Ra yang menceritakan bahwa mereka belajar Alqur’an dari Rasulullah Saw tak lebih dari sepuluh ayat sampai mereka mengerti ilmu dan amal yang terkandung di dalamnya. Para sahabat Ra berkata,
Secara terang benderang, ayat ini menyebutkan tiga ‘pekerjaan’ yang harus dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw sebagai rasul di tengah-tengah kaum yang ummy. Pekerjaan pertama ialah membacakan ayat-ayat Allah Swt. Ini adalah transformasi pengetahuan (ma’rify). Pekerjaan kedua ialah menyucikan jiwa. Ini wilayah batin (wijdany). Pekerjaan ketiga ialah mengajarkan ajaran-ajaran Alqur’an dan Sunah. Ini terkait dengan pembentukan sikap dan perilaku (nafs-haraky).
Mujahid, dalam tafsirnya, mengutip penuturan para sahabat Ra yang menceritakan bahwa mereka belajar Alqur’an dari Rasulullah Saw tak lebih dari sepuluh ayat sampai mereka mengerti ilmu dan amal yang terkandung di dalamnya. Para sahabat Ra berkata,
فَتَعَلَّمْنَا الْقُرْآنَ وَالْعِلْمَ وَالْعَمَلَ جَمِيعًا
"Maka kami belajar Al-Qur’an,
ilmu, dan amalnya sekaligus.”
Kutipan ini membawa informasi bahwa para sahabat Ra, saat belajar Alqur’an dari Rasulullah Saw, menjalani proses pendidikan yang berbasis pada penguasaan tiga ranah sekaligus, yaitu (1) membaca, (2) mengetahui isi, dan (3) mempraktikkan. Bahkan, penekanan aspek kualitas pada tiga ranah ini lebih mendapatkan perhatian dibandingkan aspek kuantitas materi ajar. Buktinya, rerata dalam setiap pertemuan, para sahabat belajar Alqur’an dari Rasulullah Saw tidak lebih dari sepuluh ayat.
Keberadaan at-tarbiyatu bil-ahdaf sebagai ruh dalam tabligh dakwah merupakan konsekuensi logis dari tabiat Islam yang bukan sekedar agama kepercayaan. Seperti dipahami bersama, selain aspek kepercayaan, Islam juga menekankan aspek ilmu dan amal. Untuk tujuan inilah, kerja para pegiat dakwah dari masa ke masa selalu bertumpu pada tiga agenda penting, yaitu (1) mengubah ketidaktahuan menjadi tahu (aspek ma’rify), (2) mengubah pengetahuan menjadi pola pikir (aspek wijdany), dan (3) mengubah pola pikir menjadi gerakan (aspek haraky). Kisah KH Ahmad Dahlan dan pengajian surat Al-Ma’un merupakan salah satu contoh menarik dalam bab ini.
Karena itu, kalau at-tarbiyatu bil-ahdaf dikaitkan dengan gagasan Benjamin Samuel Bloom, sebagaimana diyakini oleh sementara kalangan, saya rasa sudah tertinggal jauh dari warisan peradaban Islam. Hal ini dikarenakan taksonomi Bloom baru disodorkan pada dunia pendidikan sekira tahun 1956.
Wallahu a’lam. [ta]
Kutipan ini membawa informasi bahwa para sahabat Ra, saat belajar Alqur’an dari Rasulullah Saw, menjalani proses pendidikan yang berbasis pada penguasaan tiga ranah sekaligus, yaitu (1) membaca, (2) mengetahui isi, dan (3) mempraktikkan. Bahkan, penekanan aspek kualitas pada tiga ranah ini lebih mendapatkan perhatian dibandingkan aspek kuantitas materi ajar. Buktinya, rerata dalam setiap pertemuan, para sahabat belajar Alqur’an dari Rasulullah Saw tidak lebih dari sepuluh ayat.
Keberadaan at-tarbiyatu bil-ahdaf sebagai ruh dalam tabligh dakwah merupakan konsekuensi logis dari tabiat Islam yang bukan sekedar agama kepercayaan. Seperti dipahami bersama, selain aspek kepercayaan, Islam juga menekankan aspek ilmu dan amal. Untuk tujuan inilah, kerja para pegiat dakwah dari masa ke masa selalu bertumpu pada tiga agenda penting, yaitu (1) mengubah ketidaktahuan menjadi tahu (aspek ma’rify), (2) mengubah pengetahuan menjadi pola pikir (aspek wijdany), dan (3) mengubah pola pikir menjadi gerakan (aspek haraky). Kisah KH Ahmad Dahlan dan pengajian surat Al-Ma’un merupakan salah satu contoh menarik dalam bab ini.
Karena itu, kalau at-tarbiyatu bil-ahdaf dikaitkan dengan gagasan Benjamin Samuel Bloom, sebagaimana diyakini oleh sementara kalangan, saya rasa sudah tertinggal jauh dari warisan peradaban Islam. Hal ini dikarenakan taksonomi Bloom baru disodorkan pada dunia pendidikan sekira tahun 1956.
Wallahu a’lam. [ta]